Minggu, 06 Mei 2012

Kutipkan pendapat Inyiak kito almarhum Buya Hamka dari buku beliau 'Islam dan Adat Minangkabau'

Dari hasil Rapat Lengkap Adat di Bukittinggi 1953, yang terdiri dari "Orang Empat Jinis", disana diputuskan dengan konkrit bahwa Harta Minang itu terbagi dua:
  1. Harta Pusaka Tinggi
  2. Harta Pusaka Rendah/Pencaharian
'Harta Pencaharian' wajib dibagi menurut Hukum Faraidh Agama
'Harta Pusako Tuo/Harta Pusaka Tinggi' dibiarkan seperti sedia kala, tidak diganggu gugat. Dibiarkan perkembangannya menurut evolusi. Pusaka Tinggi ialah "Yang tidak dijual, Dimakan dibeli, Digadai Tidak,
Dimakan sando (sandra)'. Dan inilah "Tiang Agung Minangkabau".
Sedangkan Pusaka Rendah apabila sekali turun, naik dia menjadi harta Pusaka Tinggi.
Keelokan Adat Minangkabau, ialah susunan harta pusaka itu. Pusaka yang
dinamai Pusaka Tinggi, yang diterima turun-temurun dari nenek moyang, yang
diungkapkan dalam pepatah adat : "Sawah Gadang lumbung bapereng, sawah bajanjang, banda buatan".Dan disebut juga : "Nan basaok ba jarami, nan bapandam pakuburan". Dan : "Dakek nan boleh dikakok, Jauah nan boleh ditunjuak".
Dengan dasar keibuan (Matriaachat), satu payung, satu nenek, satu perut, nenek moyang dulu membuka tanah, yang disebut: "Mancancang melatih, membuka kampung dan halaman" Kemudian anak-anak berkembang, nagari bakalebaran, maka timbullah 'Suku' yang tidak boleh dipisah dari 'Sako'. Sebab ada suku mesti ada sako.
Dizaman jayanya, adanya harta pusaka menjamin hidup anak kemenakan. Harta Pusaka, "dijual tidak dimakan beli digadai tidak dimakan sando". Segala anak-anak menukuk dan menambah, tidak boleh ada yang menguranginya.
Mamak menjaga wilayah, ibu dan anduang memegang kunci 'ampang-puruik' dan lumbung. Isi lumbung atau isi ampang puruk hanya boleh dikeluarkan kalau terjadi sebab-sebab yang 4 (empat) perkara:
  1. Rumah Gadang ketirisan
  2. Adat Pusaka tidak berdiri
  3. Mayat terbujur ditengah rumah
  4. Gadis gadang tidak berlaki
Kalau bertemu syarat yang empat, maka tidak kayu jenjang dikeping, tidak emas, bungkal diasah. Artinya kalau tidak ada persediaan dalam lumbung lagi, tidak pula ada tanam-tanaman tua yang dapat dijadikan uang, waktu itu boleh buat, harta itu sendiri boleh digadaikan, mislanya sawah atau ladang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama kita Dalam Blog ini !