Minggu, 06 Mei 2012
Menyingkap Alam Ghaib
Seorang hamba dengan Ilmu dan Kehendak Allah
s.w.t berpotensi dapat melihat dan mengetahui alam gaib. Ketika Nabi
s.a.w bermi’roj dengan dikawal malaikat Jibril, Beliau dipertontonkan
oleh Allah s.w.t kepada alam gaib. Yakni keadaan di surga, di neraka dan
keadaan-keadaan yang akan menimpa umatnya
di masa yang akan datang. Dengan ini menunjukkan bahwa yang dimaksud
alam gaib itu bukan alam Jin atau alam Malaikat dan bahkan alam Ruh
(ruhaniah), semua itu sesungguhnya merupakan alam yang masih berada di
dalam dimensi alam Syahadah walau berada pada dimensi yang berbeda dari
bagian dimensi yang ada di dunia. Yang dimaksud dengan alam gaib adalah
masa yang belum terjadi atau alam yang akan datang. Surga dan Neraka
dikatakan gaib karena keberadaannya setelah hari kiamat. Mati dikatakan
gaib karena datangnya pada waktu yang akan datang. Jadi, hikmah terbesar
dari perjalanan ruhani manusia dengan mengadakan pengembaraan ruhaniah
(bertawasul) untuk berisro’ mi’roj kepada Allah s.w.t dengan ruhaninya,
adalah terbukanya hijab-hijab basyariah sehingga dengan matahatinya atau
firasatnya yang tajam manusia dapat mengetahui alam gaib atau apa-apa
yang akan terjadi pada dirinya. Kejadian-kejadian yang terjadi pada masa
dahulu dan yang akan datang dikatakan gaib. Alam barzah dan alam
akherat, tentang neraka, tentang shiroth, semuanya dikatakan gaib karena
kejadiannya pada masa yang akan datang. Demikian pula sejarah-sejarah
para Nabi terdahulu dikatakan gaib, karena terjadi pada masa lampau.
Allah s.w.t telah menyatakan dengan firman-Nya: ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ
الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ “Yang demikian itu
adalah sebagian dari berita-berita gaib yang kami wahyukan kepada kamu
(Ya Muhammad) padahal kamu tidak hadir beserta mereka” . (QS. Ali Imran;
3/44) Tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah
s.w.t. Kalau ada seseorang ingin mengetahuinya, maka jalannya hanya satu
yaitu dengan mengimani apa-apa yang sudah disampaikan oleh Wahyu Allah
s.w.t, kemudian ditindaklanjuti dengan amal ibadah (mujahadah dan
riyadhah). Selanjutnya, apabila Allah s.w.t menghendaki, maka orang
tersebut akan dibukakan matahatinya. Allah s.w.t telah mengisyaratkan
demikian dengan firman-Nya: وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا
يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ “Dan pada sisi Allahlah Kunci-kunci semua yang
gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah”. (QS. al-An’am; 6/59)
Apa yang akan terjadi dalam waktu satu jam mendatang dikatakan gaib.
Karena tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali hanya Allah s.w.t.
Kalau ada seseorang yang mempunyai firasat tajam kemudian dia
seakan-akan mengetahui apa-apa yang akan terjadi, hal itu bisa terjadi,
karena yang demikian itu dia melihat dengan “Nur Allah”. Demikianlah
yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya:”Takutlah
kamu akan firasatnya orang-orang yang beriman, karena sesungguhnya dia
melihat dengan Nur Allah”. Kadang-kadang hanya dengan kekuatan cinta,
firasat seseorang bisa menjadi tajam kepada orang yang dicintainya.
Seorang ibu misalnya, yang sedang jauh dengan anaknya, kadang-kadang
tanpa sebab, ibu itu mengalami perasaan yang gundah-gulana, ketika dia
mencoba menghubungi anaknya, ternyata anaknya sedang sakit. Kalau
kekuatan cinta antara sesama makhluk saja—bahkan kadang terjadi dalam
kondisi yang masih haram misalnya, mampu menjadikan tajamnya firasat,
apalagi cinta seorang hamba terhadap Tuhannya. Seorang hamba yang selalu
bertafakkur, memikirkan Kekuasaan dan Kebesaran Allah s.w.t hal
tersebut semata-mata terbit dari dorongan rasa cinta dan rindunya,
hatinya akan menjadi bersih dari kotoran-kotoran yang menempel, bersih
dari hijab-hijab yang menutupi dinding penyekat alam batinnya sehingga
pada gilirannya matahatinya akan menjadi cemerlang dan tembus pandang.
Demikian itu telah ditegaskan Allah s.w.t dengan firman-Nya: وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ “Orang-orang yang bermujahadah di jalan Kami, benar-benar
akan Kami tunjuki kepada mereka jalan-jalan Kami”. (QS. al-Ankabut;
29/69) Apa saja yang terjadi di waktu yang akan datang, dari urusan
rizki, urusan jodoh, urusan mati dan sebagainya, baik penderitaan
ataupun kebahagiaan, yang terjadi di dalam kehidupan dunia maupun
kehidupan akherat, semua itu dikatakan hal yang gaib, karena tidak ada
yang mengetahuinya kecuali hanya Allah. Adapun Jin dan Malaikat dan
bahkan Ruh atau ruhaniah tidaklah termasuk dari golongan Alam Gaib dalam
arti yang disebut Metafisika akan tetapi termasuk dari golongan Alam
Syahadah atau yang disebut Alam Fisika, hanya saja fisiknya berbeda
dengan fisik manusia. Bau harum misalnya, walau tidak tampak fisiknya,
tidak termasuk Alam Gaib tapi Alam Syahadah, atau alam yang bisa
dirasakan, hanya saja untuk merasakannya membutuhkan alat, dan alat itu
ialah indera penciuman. Seandainya ada seseorang yang tidak mempunyai
indera penciuman atau indera penciumannya sedang rusak misalnya.
Walaupun orang lain dapat merasakan bau harum, dia tidak, yang demikian
itu bukan karena bau harum itu tidak ada, tapi karena indera penciuman
orang tersebut sedang tidak berfungsi. Demikian juga terhadap suara,
akan tetapi untuk merasakan suara membutuhkan alat yang berbeda. Kalau
merasakan bebauan dengan alat hidung, maka merasakan suara dengan alat
telinga. Orang tidak bisa merasakan bau harum dengan telinga dan suara
dengan hidung, masing-masing harus dirasakan dengan alat yang sudah
dipersiapkan Allah s.w.t menurut kebutuhan kejadiannya. Seperti itu
pulalah keadaan yang ada pada dimensi yang lain, dimensi jin, dimensi
malaikat dan bahkan dimensi ruhaniah. Jin dan malaikat misalnya,
sebenarnya mereka juga adalah makhluk fisik, bukan metafisika. Asal
kejadian fisik jin diciptakan dari api, sedang fisik malaikat diciptakan
dari cahaya. Sebagaimana manusia yang asal kejadiannya diciptakan dari
tanah, bentuk kejadian selanjutnya tidaklah tanah lagi, melainkan
terdiri dari tulang dan daging, maka demikian juga yang terjadi terhadap
makhluk jin dan malaikat. Meskipun fisik jin diciptakan dari api dan
malaikat diciptakan dari cahaya, kejadian selanjutnya tidaklah api dan
cahaya lagi, tapi dalam bentuk fisik tertentu yang oleh Allah s.w.t
telah ditetapkan tidak bisa dirasakan dengan indera mata manusia. Namun
demikian, bentuk fisik jin dan malaikat itu boleh jadi bisa dirasakan
oleh manusia dengan indera yang lain selain indera mata. Indera tersebut
bisa disebut dengan nama atau istilah apa saja, indera keenam misalnya,
atau dengan istilah-istilah atau nama – nama yang lain. Semisal suara
telah ditetapkan oleh Allah s.w.t tidak bisa dirasakan oleh hidung, tapi
harus didengar oleh telinga, maka telinga atau hidung hanyalah
istilah-istilah yang ditetapkan bagi alat perasa yang dimaksud supaya
manusia dapat dengan mudah memahami atau mengenal terhadap alat perasa
tersebut. Allah s.w.t berfirman: إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ
حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ “Sesungguhnya ia (setan jin) dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu, dari dimensi yang kamu tidak bisa
melihatnya “. (QS. 7; 27) Bukan berarti manusia tidak dapat
mengobservasi atau berinteraksi dengan jin karena jin berada pada
dimensi yang di atasnya, akan tetapi hanya saja untuk mengobserfasi atau
berinteraksi dengan jin itu manusia tidak bisa dengan mempergunakan
indera mata. Sebagaimana berinteraksi dengan suara tidak bisa
mempergunakan indera hidung, akan tetapi harus mempergunakan alat perasa
yang lain yang sesuai menurut kebutuhannya. Allah s.w.t menghendaki
manusia tidak dapat melihat jin, karena sesungguhnya matanya sedang
tertutup oleh hijab-hijab basyariah. Ketika penutup mata itu dibuka,
maka penglihatan manusia akan menjadi tajam. Artinya mempunyai kekuatan
untuk tembus pandang sehingga saat itu manusia dapat merasakan alam-alam
yang ada di sekitarnya. Allah s.w.t telah menegaskan hal itu dengan
firman-Nya: فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
“Maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu menjadi amat tajam “. (QS.Qaaf.; 50/22).
Istilah yang dipergunakan Allah s.w.t untuk membuka penutup penglihatan
manusia di dalam ayat di atas adalah firman-Nya: فكشفنا عنك غطاءك
“Fakasyafnaa ‘anka ghithooaka” Kami singkapkan darimu penutup matamu,
atau penutupnya dihilangi, atau hijabnya dibuka. Ketika manusia tidak
dapat berinteraksi dengan dimensi yang lain berarti karena
penglihatannya sedang ada penutupnya. Oleh karena itu ketika penutup itu
dibuka, maka penglihatannya menjadi tajam atau tembus pandang. Ini
adalah rahasia besar yang telah menguak sebuah misteri tentang alam-alam
yang ada di sekitar alam manusia. Bahwa jalan untuk menjadikan mata
manusia menjadi tembus pandang supaya kemudian manusia mampu
berinteraksi dengan dimensi yang lain,—dengan istilah melihat jin
misalnya, adalah hanya dengan mengikuti tata cara yang berkaitan dengan
istilah di atas. Tata cara itu ialah dengan jalan melaksanakan mujahadah
di jalan Allah. Sebagaimana yang telah disampaikan Allah s.w.t dalam
firman-Nya di atas, QS. 29/69 yang artinya: “Dan orang-orang yang
bermujahadah di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjuki kepada mereka
jalan-jalan Kami”.( QS. 29; 69) Allah s.w.t yang menciptakan Hukum Alam
secara keseluruhan. Maka hanya Allah s.w.t pula yang mampu merubahnya.
Seandainya seorang hamba menginginkan terjadi perubahan terhadap
hukum-hukum tersebut, maka tidak ada cara lain, dia harus tunduk dan
mengikuti hukum-hukum yang sudah ditetapkan pula, meskipun perubahan
yang dimaksud tersebut, juga merupakan sunnah yang sudah ditetapkan.
“Mujahadah di jalan Allah”, adalah suatu istilah untuk menyebutkan
sesuatu yang dimaksud. Atau nama dari suatu tata cara bentuk sarana
untuk mendapatkan petunjuk dari Allah s.w.t. Supaya dengan itu penutup
mata manusia dibuka sehingga penglihatannya menjadi tajam. Sedangkan
hakekat mujahadah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah s.w.t, hanya
Allah s.w.t yang mengetahuinya. Oleh karena itu, kewajiban seorang hamba
yang menginginkan terjadinya perubahan-perubahan atas dirinya supaya
usahanya dapat berhasil dengan baik, yang harus dikerjakan ialah,
terlebih dahulu dia harus mengetahui dan mengenal dengan benar terhadap
apa yang dimaksud dengan istilah mujahadah itu. Oleh karena yang
dinamakan mujahadah tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek ilmu
pengetahuan saja, melainkan juga amal atau pekerjaan, bahkan mujahadah
adalah ibarat kendaraan yang akan dikendarai manusia untuk
menyampaikannya kepada tujuan, maka cara mengenalnya, lebih-lebih cara
mengendarainya, seseorang harus melalui tahapan praktek dan latihan.
Untuk kebutuhan ini—seorang hamba yang akan melaksanakan mujahadah harus
dibimbing seorang guru ahlinya. Allohu A’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bersama kita Dalam Blog ini !